PENETAPAN HARGA DALAM ISLAM


A. HADIS TASIR

a. Hadis shahih

١-حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ وَقَتَادَةُ وَحُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ قَالَ النَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ غَلَا السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ

Diriwayatkan dari Anas RA, sahabat berkata “ Ya Rasulullah harga-harga barang. Maka Rasululah bersabda: Sesungguhnya Allah SWT Dzat Yang Maha Menetapkan harga, yang Yang Maha Memegang, Yang Maha Melepas, dan Yang Memberikan rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kedzaliman dalam darah dan harta.

٢- عَنْ قَتَادَةَ ، وَثَابِتٍ ، وَحُمَيْدٍ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ:غَلاَ السِّعْرُ بِالْمَدِينَةِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَقَالَ النَّاسُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، غَلاَ السِّعْرُ ، فَسَعِّرْ لَنَا ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ ، إِنِّي لأَرْجُو أنْ أَلْقَى اللَّهَ ، عَزَّ وَجَلَّ ، وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلَِمَةٍ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ.

Diriwayatkan dari Anas RA, pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW, harga-harga barang naik di kota Madinah, kemudian para sahabat meminta Rasulullah SAW menetapkan harga. Maka Rasululah bersabda: Sesungguhnya Allah SWT Dzat Yang Maha Menetapkan harga, yang Yang Maha Memegang, Yang Maha Melepas, dan Yang Memberikan rezeki. Aku sangat berharap bisa bertemu Allah SWT tanpa seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan tuduhan kedzaliman dalam darah dan harta.

b. Hadis Dai’f

١- باب ذكر سبب الغلاء والرخص فيه عن على وأنس: فأما حديث على عليه السلام: فأنبأنا محمد بن عبدالملك أنبأنا عبد الصمد ابن المأمون أنبأنا الدار قطني حدثنا أحمد بن عيسى بن على الخواص حدثنا سفيان ابن زياد بن آدم حدثنا عبدالله بن علاج الموصلي حدثنى أبى عن محمد بن على ابن الحسين عن أبيه عن جده عن على عليه السلام قال: " غلا السعر بالمدينة فذهب أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالوا: يا رسول الله غلا السعر فسعر، فقال: إن الله عزوجل هو المعطى وهو المانع وإن لله ملكا اسمه عمارة على فرس من حجارة الياقوت طوله مد بصره ويدور في الامصار ويقف في الاسواق، فينادى: ألا ليغلو كذا وكذا، ألا ليرخص كذا وكذا ".

B. Kosa kata

( غَلَا السِّعْر ) أَيْ اِرْتَفَعَ عَلَى مُعْتَاده

harga naik diatas kebiasaan

( إِنَّ اللَّه هُوَ الْمُسَعِّر )عَلَى وَزْن اِسْم الْفَاعِل مِنْ التَّسْعِير

ikut wazan isim fa’il dari kara kata tas’ir ( penetapan harga)

( الْقَابِض الْبَاسِط )أَيْ مُضَيِّق الرِّزْق وَغَيْره عَلَى مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ كَيْف شَاءَ وَمُوَسِّعه .

Yang menyempitkan rizki dll atas segala sesuatu yang dikehendakinya

C. Pembahasan

1. Pendapat ulama

Hadits tersebut mengandung pengertian mengenai keharaman penetapan harga (termasuk upah dalam transaksi persewaan atau perburuhan) walau dalam keadaan harga-harga sedang naik, karena jika harga ditentukan murah akan dapat menyulitkan pihak penjual. Sebaliknya, menyulitkan pihak pembeli jika harga ditentukan mahal. Sementara penyebutan darah dan harta pada hadis tersebut di atas hanya merupakan kiasan.


Selain itu, karena harga suatu barang adalah hak pihak yang bertransaksi maka kepadanya merekalah diserahkan fluktuasinya. Karenanya, imam atau penguasa tidak layak untuk mencampuri haknya kecuali jika terkait dengan keadaan bahaya terhadap masyarakat umum sebagaimana yang akan kami jelaskan.


Menurut madzhab Syafi'i, penguasa tidak berhak untuk menetapkan harga, biarkan masyarakat menjual dagangan mereka sebagaimana yang mereka inginkan. Bahkan penetapan tersebut dikatakan sebagai tindakan zhalim. Hal ini mengingat, bahwa masyarakat itu sebagai pihak yang menguasai harta mereka, dan penetapan harga merupakan belenggu terhadap mereka. Penguasa memang diperintahkan untuk melindungi maslahat umat Islam namun tidaklah pandangannya pada kemaslahatatan pembeli dengan memurahkan harga itu lebih utama dibandingkan pandangannya pada kemaslahatan penjual dengan menaikkan harga.

Sementara itu Imam Malik berpendapat sebaliknya, bahwa penguasa berhak menetapkan harga. Penetapan harga pada masyarakat itu boleh dilakukan jika dikhawatirkan pelaku pasar akan menafsirkan ketaatan kaum muslimin kepada "mekanisme pasar" dengan penafsiran yang negatif atau disalahgunakan.

Semua ulama berdasarkan dzahir hadis di atas memang tidak memperbolehkan penetapan harga kepada siapapun. Namun yang benar adalah bahwa penetapan harga itu dibolehkan. Parametenya adalah berdasarkan kepada undang-undang yang tidak memuat kezhaliman terhadap pihak-pihak yang terkait, dan undang-undang tersebut diperoleh dengan memperhatikan waktu dan fluktuasi, serta situasi dan keadaan masyarakat.

Asy-Syaukani menyatakan, hadis ini dan hadis yang senada dijadikan dalil bagi pengharaman pematokan harga dan bahwa ia (pematokan harga) merupakan suatu kezaliman (yaitu penguasa memerintahkah para penghuni pasar agar tidak menjual barang barang mereka kecuali dengan harga yang sekian, kemudian melarang mereka untuk menambah ataupun mengurangi harga tersebut). Alasannya bahwa manusia dikuasakan atas harta mereka sedangkan pematokan harga adalah pemaksaan terhadap mereka. Padahal seorang imam diperintahkan untuk memelihara kemashalatan umat Islam. Pertimbangannya kepada kepentingan pembeli dengan menurunkan harga tidak lebih berhak dari pertimbangan kepada kepentingan penjual dengan pemenuhan harga. Jika kedua persoalan tersebut saling pertentangan, maka wajib memberikan peluang kepada keduanya untuk berijtihad bagi diri mereka sedangkan mengharuskan pemilik barang untuk menjual dengan harga yang tidak disetujukan.

2. Pembahasan menurut ekonomi salaf

Ibnu Qudamah menganalisis bahwa penetapan harga juga mengindasikan pengawasan atas harga tak menguntungkan. Ia berpendapat bahwa penatapan harga akan mendorong harga menjadi lebih mahal. Sebab jika pandangan dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga, mereka tak akan mau membawa barang dagangannya ke suatu wilayah di mana ia dipaksa menjual barang dagangannya di luar harga yang dia inginkan. Para pedagang lokal yang memiliki barang dagangan, akan menyembunyikan barang dagangan. Para konsumen yang membutuhkan akan meminta barang barang dagangan dan membuatkan permintaan mereka tak bisa dipuaskan, karena harganya meningkat. Harga meningkat dan kedua pihak menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi dari menjual barang dagangan mereka dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tidak bisa dipenuhi. Inilah alasannya kenapa hal itu dilarang

Ibnu Taimiyah menguji pendapat-pendapat dari keempat mazhab itu, juga pendapat beberapa ahli fiqih, sebelum memberikan pendapatnya tentang masalah itu. Menurutnya “kontroversi antar para ulama berkisar dua poin: Pertama, jika terjadi harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih tinggi dari pada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut mazhab Maliki harus dihentikan. Tetapi, bila para penjual mau menjual di bawah harga semestinya, dua macam pendapat dilaporkan dari dua pihak. Menurut Syafi’i dan penganut Ahmad bin Hanbal, seperti Abu Hafzal-Akbari, Qadi Abu ya’la dan lainnya, mereka tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu

dari perbedaan pendapat antar para ulama adalah penetapan harga maksimum bagi para penyalur barang dagangan (dalam kondisi normal), ketika mereka telah memenuhi kewajibannya. Inilah pendapat yang bertentangan dengan mayoritas para ulama, bahkan oleh Maliki sendiri. Tetapi beberapa ahli, seperti Sa’id bin Musayyib, Rabiah bin Abdul Rahman dan yahya bin sa’id, menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata bahwa otoritas harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat peningkatan harga itu, di mana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang diakibatkan olehnya

Berbeda dengan kondisi musim kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah ketika terjadi ketidaksempurnaan memasuki pasar. Misalnya, jika para penjual (arbab al-sila) menolak untuk menjual barang dagangan mereka kecuali jika harganya mahal dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rifah) dan pada saat yang sama penduduk sangat membutuhkan barang-barang tersebut, merekadiharuskan menjualnya pada tingkat harga yang setara, contoh sangat nyata dari ketidaksempurnaan pasar adalah adanya monopoli dalam perdagangan makanan dan barang-barang serupa. Dalam kasus seperti itu, otoritas harus menetapkan harganya (qimah al-mithl) untuk penjualan dan pembelian mereka. Pemegang monopoli tak boleh dibiarkan bebas melaksanakan kekuasaannya, sebaliknya otoritas harus menetapkan harga yang disukainya, sehingga melawan ketidakadilan terhadap penduduk

3. Menurut ekonomi modern

Secara teoritis, tidak ada perbedaan signifikan antara perekonomian klasik dengan modern. Teori harga secara mendasar sama, yakni bahwa harga wajar atau harga keseimbangan diperoleh dari interaksi antara kekuatan permintaan dan penawaran (suplai) dalam suatu persaingan sempurna, hanya saja dalam perekonomian modern teori dasar ini berkembang menyadi kompleks karena adanya diversifikasi pelaku pasar, produk, mekanisme perdagangan, instrumen, maupun perilakunya,yang mengakibatkan terjadinya distorsi pasar









Fenomena kenaikan harga sangat rentan terhadap jalan perekonomian, dimana tingkat harga mempunyai korelasi yang siqnifikan terhadap kemampuan masyarakat dalam mempertahankan hidup. Dalam teori kuantitas membedakan sumber kenaikan harga secara umum atau inflasi menjadi dua, yakni teori demand pull inflation dan cost push inflation. Demand full inflation terjadi karena adanya kenaikan permintaan agregatif dimana kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh (full employment). Cost push inflation terjadi karena kenaikan harga faktor produksi sampai pada jumlah tertentu.

4. Diperbolehkannya Ta’sir

Meskipun dalam berbagai kasus dibolehkan mengawasi harga, tapi dalam seluruh kasus tak disukai keterlibatan pemerintah dalam menetapkan harga. Mereka boleh melakukannya setelah melalui perundingan, diskusi dan konsultasi dengan penduduk yang berkepentingan. Dalam hubungannya dengan masalah ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, menurutnya, Imam (kepala pemerintahan), harus menjalankan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dari pasar (wujuh ahl al-suq). Pihak lain juga diterima hadir dalam musyawarah ini, karena mereka harus juga dimintai keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang pelaksanaan jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh peserta musyawarah, juga seluruh penduduk. Jadi, keseluruhannya harus bersepakat tentang hal itu, harga itu tak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka.


Untuk menjelaskan tujuan gagasan membentuk komisi untuk berkonsultasi, ia mengutip pendapat ahli fikih lainnya, Abu al-Walid, yang menyatakan, “Logika di balik ketentuan ini adalah untuk mencari –dengan cara itu- kepentingan para penjual dan para pembeli, dan menetapkan harga harus membawa keuntungan dan kepuasan orang yang membutuhkan penetapan harga (penjual) dan tidak mengecewakan penduduk (selaku pembeli). Jika harga itu dipaksakan tanpa persetujuan mereka (penjual) dan membuat mereka tidak memperoleh keuntungan, penetapan harga seperti itu berarti korup, mengakibatkan stok bahan kebutuhan sehari-hari akan menghilang dan barang-barang penduduk menyadi hancur.

Daftar pustaka

Fadl, Abi. Al-Musnad al-Jami http://www.al-islam.com

Al-Mauduat, http://www.al-islam.com

Tazkiroh al-mauduat, http://www.al-islam.com

http://www.nu.or.id

http://www.msi-uii.net